Saturday 25 April 2015

EPIDURAL HEMATOMA DAN SUBDURAL HEMATOMA



EPIDURAL HEMATOMA DAN SUBDURAL HEMATOMA

Definisi
Epidural hematoma dihasilkan oleh pendarahan antara dura dan lapisan dalam dari tengkorak. Epidural hematoma merupakan emergensi neurology dan biasa dihubungkan dengan fraktur linear yang melewati arteri mayor dari dura dan terjadi perobekan. Perdarahan terjadi pada ruang epidural yang terletak di antara dura dan lapisan dalam dari tengkorak (Lewis, 2000).
Subdural hematoma adalah perdarahan di antara duramater dan araknoid dari lapisan meningeal yang melindungi otak. Hal ini biasa terjadi karena injuri pada bagian-bagian pembuluh parenkhim. Vena yang mengalir dari permukaan otak menuju sinus sagital merupakan tempat yang paling sering terjadinya subdural hematoma (Lewis, 2000).

Etiologi
1.      Trauma kepala
2.      Pukulan benda tumpul
3.      Fraktur tulang tengkorak
4.      Luka tembak
5.      Kecelakaan kendaraan

Anatomi dan Fisiologi
Otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya. Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu jaringan fibrosa, padat dapat digerakan dengan bebas, yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Di antara kulit dan galea terdapat suatu lapisan lemak dan lapisan membrane dalam yang mengandung pembuluh-pembuluh besar. Bila robek, pembuluh-pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi dan dapat menyebabkan kehilangan darah yang berarti pada penderita dengan laserasi pada kulit kepala. Tepat di bawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang mengandung vena emisaria dan diploika. Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas memperlihatkan betapa pentingnya pembersihan dan debridement  kulit kepala yang seksama bila galea terkoyak (Sylvia A. Price, 1995).
            Pada orang dewasa, tengkorang merupakan ruangan keras yang tidak memungkinkan perluasan isi intracranial. Tulang sebenarnya terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna dan dinding bagian dalam disebut tabula interna. Tabula interna mengandung alur-alur yang berisikan arteria meningea anterior, media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan terkoyaknya salah satu dari arteria-arteria ini, perdarahan arterial yang diakibatkannya, yang tertimbun dalam ruang epidural dapat menimbulkan akibat yang fatal kecuali bila ditemukan dan diobati dengan segera. Ini merupakan salah satu keadaan darurat bedah saraf yang memerlukan pembedahan dengan segera.
            Pelindung lain yang melapisi otak adalah meninges. Ketiga lapisan meninges adalah duramater, araknoid, dan piamater.
            Dura adalah membran luar yang liat, semitranslusen, dan tidak elastis. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena (yang terdiri atas duramater dan lapisan endotelial saja tanpa jaringan vaskular), dan membentuk periosteum tabula interna. Dura melekat erat dengan permukaan dalam tengkorak. Jika dura robek dan tidak diperbaiki dengan sempurna dan dibuat kedap udara akan timbul berbagai masalah, maka kemungkinan fungsi terpenting dari dura adalah sebagai pelindung. Dapat terjadi perluasan farktur dan bukannya penyembuhan, dan kebocoran cairan otak kronik yang dapat menimbulkan sikatriks dan menjadi fokal epilepsi. Tetapi pda beberapa keadaan dura sengaja dibiarkan terbuka, misalnya pada edema otak (untuk mengurangi tekanan bagi otak yangt menonjol), darinase cairan otak, atau setelah tindakan trepanasi eksplorasi (untuk memeriksa dan mengosongkan bekuan darah).
            Dura mempunayai suplai darah yang kaya. Bagian tengah dan posterior disuplai oleh arteria meningea media yang bercabang dari arteria vertebralis dan karotis interna. Pembuluh anterior dan etmoid juga merupakan cabang dari arteria karotis interna dan menyuplai fosa anterior. Arteria meningea posterior yaitu cabang dari arteria oksipitalis, menyuplai darah ke fosa posterior.
            Araknoid adalah membran halus, fibrosa, dan elastis yang tidak melekat pada duramater, akan tetapi ruang ruangan antara kedua membran tersebut (ruang subdural) merupakan ruangan yang potensial. Perdarahan antara dura dan araknoid (ruang subdural) dapat menyebar dengan bebas dan hanya terbatas oleh sawar falks serebri dan tentorium. Vena-vena otak yang melewati ruangan ini hanya mempunyai sedikit jaringan penyokong dan oleh karena itu mudah sekali cedera dan robek pada trauma kepala (otak).
            Di antara araknoid dan piamater (yang terletak langsung di bawah araknoid) terdapat ruang subaraknoid. Ruangan ini melebar dan mendalam pada tempat tertentu, dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal ke dalam sistem vena.
            Piamater adalah suatu membran halus yang sangat kaya dengan pembuluh darah halus. Piamater merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus semua girus; kedua lapisan yang lain hanya menjembatani sulkus. Pada beberapa fisura dan sulkus di sisi medial hemisfer otak, piamater membentuk sawar antar ventrikel dan sulkus atau fisura. Sawar ini merupakan struktur penyokong dari pleksus koroideus pada setiap ventrikel.   

GAMBAR
















Patofisiologi:
1.      Hematoma Epidural
Hematoma epidural merupakan suatu akibat serius dari cedera kepala dengan angka mortalitas sekitar 50% (Sylvia A. Price, 1995). Paling sering terjadi di daerah parietotemporal akibat robekan arteria meningea media. Hematoma epidural di daerah frontal dan oksipital sering tidak dicurigai dan memberi tanda-tanda setempat yang tidak jelas. Bila hematoma epidural tidak disertai cedera lain dari otak biasanya pengobatan yang dini dapat menyembuhkan penderita dengan sedikit atau tanpa defisit neurologik.
Riwayat klasik penderita hematoma epidural adalah terjadinya cedera kepala yang diikuti keadaan tidak sadar beberapa saat. Periode ini kemudian diikuti oleh suatu periode lusid. Penting untuk dicatat bahwa interval lusid ini bukan merupakan tanda diagnostik yang dipercaya bagi hematoma epidural. Pertama, interval lusid mungkin berlalu tanpa diketahui, terutama bila hanya sekejap saja. Kedua, penderita dengan cedera otak berat tambahan dapat tetap berada dalam keadaan stupor.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus (ulkus dan sebagian dari girus hipokampus) mengalami herniasi di bawah pingiran tentorium. Keadaan ini meyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formasio retikularis di medula oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini juga terdapat nuklei saraf kranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respon motorik kontralateral (yaitu berlawanan dengan tempat hematoma), refleks hiperaktif dan tanda babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong ke arah yang berlawanan, menyebakan TIK yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan TIK antara lain kekauan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernapasan.

2.      Hematoma Subdural
Sementara hematoma epidural pada umumnya berasal dari arteria, hematoma subdural berasal dari vena. Hematoma ini timbul akibat ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hematoma subdural dipilih menjadi tipe-tipe yang berbeda dalam simtomatologi dan prognosis: akut, subakut, dan kronik.
a.                              Hematoma subdural akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik penting dan serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Seringkali berkaitan dengan trauma otak berat, hematoma ini juga mempunyai mortalitas yang tinggi.
Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
b.                              Hematoma subdural subakut
Hematoma subdural subakut menyebabkan defisit neurologik yang bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis yang khas dari penderita hematoma tersebut adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam. Dengan meningkatnya TIK seiring pembesaran hematoma, penderita dapat mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respons terhadap rangsang bicara maupun nyeri. Seperti hematoma subdural akut, pergeseran isi intrakranial dan peningkatan TIK yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.

c.                               Hematoma subdural kronik
Ada hal yang menarik dalam anamnesis penderita hematoma subdural kronik. Trauma otak yang menjadi penyebab dapat sangat ringan sehingga terlupakan. Timbulnya gejala pada umunya tertunda beberapa minggu, bulan, dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.
Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma. Jika dibiarkan mengikuti perjalanan alamiahnya, unsur-unsur kandungan hematoma subdural akan mengalami perubahan-perubahan yang khas.

                        Stadium-stadium dalam perjalanan alamiah hematoma subdural nonlethal
Stadium
Penjelasan
Stadium I

Stadium II

Stadium III

Stadium IV


Stadium V
Darah berwarna gelap tersebar luas di permukaan otak di bawah dura.
Bekuan darah menjadi lebih hitam, tebal dan gelatinosa (2 sampai 4 hari).
Bekuan pecah dan setelah 2 minggu akan berwarna dan berkonsistensi seperti minyak pelumas mesin.
Terjadi organisasi yang dimulai dari pembentukan membran luar yang tebal dan keras berasal dari dura, dan membran dalam yang tipis dari araknoid. Cairannya menjadi xantokromik.
Organisasi sudah lengkap. Bekuan dapat mengalami klasifikasi atau bahkan osifikasi (atau dapat diserap).

Hematoma subdural kronik seringkali disebut peniru karena tanda dan gejala biasanya tidak spesifik, tidak terlokalisasi, dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit lain. Beberapa penderita mengeluh sakit kepala. Tanda gejala yang paling khas adalah perubahan progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati, letargi, berkurangnya perhatian, dan menurunnya kemampuan untuk mempergunakan kecakapan kognitif yang lebih tinggi. Hemianopsia, hemiparesis, dan kelainan pupil ditemukan pada kurang dari 50% kasus (Sylvia A. Price, 1995).

Tanda dan Gejala:
  1. Tidak sadar terhadap sekeliling
  2. Sakit kepala, mual, dan muntah
  3. Kelainan saat berbicara
  4. Ipsilateral dilatasi pupil
  5. Kontralateral hemiparese dan kejang
  6. Peningkatan TIK

















PENAGANAN KEPERAWATAN PADA TRAUMA SUBDURAL DAN EPIDURAL HEMATOM


No comments:

Post a Comment