ADVANCED TRAUMA LIFE SUPPORT
(ATLS)
BAB I
INITIAL MANAGEMENT
I. PENDAHULUAN
Pengobatan penderita yang terluka
parah memerlukan penilaian cepat dari perlukaannya dan pengelolaan yang tepat.
Penilaian awal ini disebut “initial assesment” dan meliputi :
1.
Persiapan
2.
Triase
3.
Survai primer (primary survey, ABC)
4.
Resusitasi
5.
Survai sekunder (secondary survey,
head to toe)
6.
Pemantauan dan re - evaluasi berlanjut
7.
Penanganan menetap
Survai primer maupun sekunder bila perlu diulang untuk menetapkan penurunan
keadaan penderita dan memberikan therapi di mana diperlukan.
Urutan
kejadian di atas disajikan seolah-olah berurut, namun dalam praktek sehari-hari
dapat berlangsung simultan. Penyajian secara berurut memungkinkan dokter
menilai perkembangan keadaan penderita.
II. PERSIAPAN
Persiapan penderita berlangsung
dalam keadaan 2 yang berbeda ; yang pertama adalah fase pra-rumah sakit
(pre-hospital), dimana seluruh kejadian sebaiknya berlangsung dalam koordinasi
dengan dokter di rumah sakit. fase ke dua adalah fase rumah sakit (in-hospital)
dimana dilakukan persiapan untuk
menerima penderita sehingga dapat dilakukan resusitasi dalam waktu cepat.
A. FASE PRA-RUMAH SAKIT
Koordinasi yang baik antara dokter
di rumah sakit dengan petugas yang dilapangan akan menguntungkan penderita. Sebaiknya rumah sakit sudah diberitahukan sebelum penderita diangkat dari
tempat kejadian.
Yang harus diperhatikan di sini adalah menjaga air way,
kontrol perdarahan dan syok, immobilisasi penderita dan pengiriman ke rumah
sakit terdekat yang cocok, sebaiknya ke suatu pusat trauma yang diakui.
Harus diusahakan untuk cepat juga harus diusahakan keterangan yang dibutuhkan
di rumah sakit, yaitu waktu kejadian, sebab
kejadian, dan riwayat penderita. Mekanisme kejadian dapat menerangkan
jenis perlukaan dan berat perlukaan.
B. FASE RUMAH SAKIT
Perencanaan
sebelum kedatangan penderita sangat diperlukan. Sebaiknya disiapkan suatu
ruangan khusus untuk menampung penderita ini. Perlengkapan jalan nafas
(laringoscope, ETT dsb.) sudah dipersiapkan, dicoba dan di tempatkan di tempat yang mudah terjangkau. Cairan
kristaloid (mis. Ringer’s Lactate) yang telah dihangatkan, digantung pada
tempatnya. Perlengakapan monitoring yang diperlukan sudah dipersiapkan. Suatu
sistem pemanggilan tenaga medik tambahan sudah harus ada, demikian juga tenaga
laboratorium dan radiologi. Formulir rujukan ke suatu trauma senter juga
dipersiapkan.
Semua
tenaga medik yang berhubungan dengan penderita harus dihindarkan dari
kemungkinan penularan penyakit menular,
terutama hepatitis dan Acquired Immuno-deficiency Syndrome (AIDS).
Center for Disease Control (CDC) dan
pusat kesehatan lain dengan sangat menganjurkan
pemakaian alat-alat protektip seperti face mask, proteksi mata(kaca
mata) dan baju kedap air, sepatu dan sarung tangan bila ada kontak dengan
cairan tubuh penderita.
III. TRIASE
Triase
adalah cara pemilihan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya
yang tersedia. Terapi didasarkan pada
kebutuhan ABC (Airway dengan cervikal spine control, Breathing, dan Circulation
dengan kontrol perdarahan). Triase juga berlaku untuk pemilihan penderita di
lapangan dan rumah sakit yang akan dirujuk. Merupakan tanggung jawab tenaga
pra-rumah sakit (dan pimpinan tim lapangan) bahwa penderita akan dikirim ke rumah sakit yang sesuai.
Merupakan kesalahan besar untuk mengirim penderita ke rumah sakit non trauma
bila ada pusat trauma tersedia. Suatu sistem skoring akan membantu didalam
mengambil keputusan pengiriman ini.
Dua jenis keadaan triase dapat terjadi :
1. Jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak melampoi
kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini penderita dengan masalah gawat darurat
dan multi trauma akan dilayani terlebih dahulu.
2. Jumlah pendeita dan beratnya perlukaan melampaui
kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini yang akan dilayani terlebih dahulu
adalah penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan
waktu, perlengkapan dan tenaga paling sedikit.
IV. SURVAI PRIMER (PRIMARY SURVEY)
Penilaian keadaan penderita dan
perioritas terapi dilakukan berdasarkan jenis perlukaan, stabilitas tanda-tanda
vital, dan mekanisme ruda paksa. Pada penderita luka parah, prioritas terapi
diberikan berurutan, berdasarkan penilaian menyeluruh. Fungsi vital penderita
harus dinilai secara cepat dan efisien. Pengelolaan penderita berupa evaluasi
primer yang cepat, resusitasi fungsi yang vital, penilaian sekunder dan
akhirnya terapi definitif. Proses ini
merupakan ABC-nya trauma, dan dapat menetapkan keadaan yang mengancam
nyawa terlebih dahulu.
A :
Airway maintenance dengan cervikal kontrol (Cervical spine control)
B :
Breathing dan ventilasi
C :
Circulation dengan kontrol perdarahan
(hemorrhage control)
D :
Disability (status neurologis)
E :
Exposure/enviromental control ; buka baju penderita tetapi kontrol hipotermi.
Selama survei primer, kondisi
mengancam nyawa harus dikenali, dan pengelolaannya dilakukan sekaligus. Walaupun jumlah cairan, obat, darah, ukuran anak, kehilangan panas, dan
pola perlukaan berbeda, namun penilaian dan prioritas pada anak pada dasarnya
sama dengan dewasa..
A . Airway maintenance dengan cervikal kontrol (Cervical spine control)
Yang
pertama dinilai adalah kelancaran airway. Ini meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang disebabkan adanya benda asing, fraktur tulang wajah,
fraktur mandibula atau maksila, fraktur larings atau trachea. Usaha untuk
membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini dapat
dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan membebaskan jalan
nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi, atau
rotasi dari leher.
Adanya
kelainan vertebra servikalis didasarkan pada riwayat perlukaan; pemeriksaan
neurologis tidak sepenuhnya dapat menyingkirkannya. Ketujuh vertebra servikalis
dan vertebra thorakalis pertama dapat dilihat dengan foto servikal lateral,
walaupun tidak semua jenis fraktur akan terlihat dengan foto ini. Dalam keadaan kecurigaan fraktur servikal harus dipakai alat immobilisasi.
Bila alat ini harus dibuka untuk sementara, maka kepala harus diimmobilisasi
manual. Alat immobilisasi ini harus terus dipakai sampai kemungkinan fraktur
servikal disingkirkan.
B. Breathing dan ventilasi
Airway
yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada
saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbondioksida
dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding
dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus dievaluasi secara cepat. Dada
penderita harus dibuka untuk melihat pernafasan yang baik. Auskultasi dilakukan
untuk memeastikan masuknya udara ke dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai
adanya udara atau darah dalam rongga
pleura. Inspeksi dapat memeperlihatkan kelainan dinding dada yang
mungkin mengganggu ventilasi. Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension
pneumo-thorax, flail chest dengan kontusio paru, dan open pneumo-thorax. Hemo
thorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga, dan kontusio paru mengganggu
ventilasi dalam derajat yang lebih ringan.
C. Circulation dengan kontrol perdarahan.
1. Volume darah dan curah jantung (Cardiac output)
Perdarahan
merupakan sebab utama kematian pasca bedah yang mungkin dapat diatasi dengan
terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi harus
dianggap disebabkan oleh hivopolemia sampai terbukti sebaliknya. Dengan
demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik
penderita. Ada dua obsrevasi yang dalam
hitungan detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik ini
yakni tingkat kesadaran dan nadi.
·
Tingkat kesadaran :
Bila volume darah menurun, perpusi
otak dapat berkurang, yang akan mengakibatkan penurunan kesadaran (walaupun
demikian kehilangan darah dalam jumlah banyak belum tentu mengakibatkan
gangguan kesadaran).
·
Warna kulit
Warna kulit dapat membantu
mendiagnosis hipovolemia. Penderita trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan
eksterimatas, jarang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat
keabu-abuan dan kulit ekstermitas yang
pucat, merupakan tanda hipovolemia. Bila memang disebabkan hipovolemia, maka
ini menandakan kehilangan darah minimal
30 % volume darah.
·
Nadi
Nadi yang besar seperti a. femoralis atau a. carotis harus diperiksa
bilateral, untuk kekuatan, kecepatan dan
irama nadi. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda
normo-volemia. Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia, namun
harus diingat sebab yang lain yang dapat
menyebabkannya. Nadi yang tidak teratur
biasanya merupakan tanda gangguan
jantung. Tidak ditmukanya pulsasi dari nadi sentral (arteri besar) merupakan
tanda diperlukannya resusitasi mengatasi faktor sirkulasi bila hendak
menghindarkan kematian.
2. Perdarahan
Perdarahan
hebat dikelola pada survei primer. Perdarahan eksternal yang hebat dikendalikan
dengan penekanan pada luka. Spalk udara (pneumatic splinting device) juga dapat
digunakan untuk mengontrol perdarahan. Spalk jenis ini harus tembus cahaya
supaya dapat mengawasi perdarahan. Tourniquet jangan digunakan karena dapat
merusak jaringan dan dapat menyebabkan iskemik distal dari tourniquet .
Permakaian hemostat memerlukan waktu dan dapat merusak jaringan sekitar seperti
syaraf dan pembuluh darah. Perdarahan dalam rongga thoraks, abdomen, sekitar
fraktur atau sebagai akibat dari luka tembus, dapat menyebabkan perdarahan besar
yang tidak terlihat.
D. Disabillity (Evaluasi Neurologis)
Menjelang
akhir survei primer dievaluasi keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai di
sini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Suatu cara sederhana
untuk menilai tingkat
kesadaran adalah dengan
metoda
AVPU :
A : Alert (sadar)
V : Respon terhadap rangsang vokal (suara)
P : Respon terhadap rangsang nyeri (pain)
U : Unresponsive (tidak ada respon)
GCS
adalah sistem skoring yang sederhana dan
dapat meramal kesudahan (Out come) penderita. GCS ini dapat dilakukan sebagai pengganti
AVPU. Bila belum dilakukan pada survai primer, harus dilakukan pada
survai sekunder. Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak, atau
disebabkan perlukaan pada otak sendiri. Perubahan kesadaran menuntut dilakukan
pemeriksaan terhadap keadaaan ventilasi, perfusi dan oksigenasi.
Alkohol
dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita. Walaupun
demikian, bila sudah disingkirkan kemungkinan hipoksia atau hipovolemia sebagai sebab penurunan kesadaran, maka
trauma kapitis dianggap sebagai penyebabnya, sampai terbukti sebaliknya.
E. Exposure / Kontrol Lingkungan
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering
dengan cara menggunting, guna memeriksa dan mengevaluasi
penderita. Setelah pakaian dibuka penting agar penderita tidak kedinginan,
harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan
intravena yang sudah dihangatkan.
V. RESUSITASI
A. Airway
Airway harus dijaga dengan baik pada penderita tidak sadar. Jaw thrust dan
chin lift dapat dipakai pada beberapa kasus. Pada penderita yang masih sadar
dapat digunakan naso-pharyngeal airway. Bila penderita tidak sadar dan tidak
ada refleks berdahak (gag reflex) dapat digunakan oro-pharyeal airway (Gudel).
B. Breathing/ventilasi/oksigenasi
Kontrol
jalan nafas pada penderita yang airwaynya terganggu, karena faktor mekanik atau
ada gangguan ventilasi, atau ada gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi
endotracheal, baik oral maupun nasal. Prosedur ini harus dilakukan dengan
kontrol terhadap servikal. Surgical airway (crico-thyrodectomy) dapat dilakukan
bila intubasi endotracheal tidak mungkin karena kontra indikasi atau masalah
tekhnis. Adanya tension pneumothorax mengganggu ventilasi, dan bila dicurigai,
harus segera dilakukan dekompresi (tusuk dengan jarum besar disusul WSD).
Setiap penderita trauma diberikan oksigen. Bila tanpa intubasi, sebaiknya
oksigen diberikan dengan face-mask.
C. Circulation (dengan kontrol perdarahan)
Bila ada
gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya 2 IV line. Kateter IV yang dipakai
harus berukuran besar. Besar arus yang didapat tidak tergantung pada ukuran
besar vena melainkan tergantung dari besar kateter Ivdan berbanding terbalik
dengan panjang kateter IV. Pada awalnya sebaiknya menggunakan vena pada lengan.
Jenis IV line lain vena seksi, atau vena sentralis tergantung dari kemampuan
petugas yang melayani. Pada saat memasang kateter IV harus diambil contoh darah
untuk permintaan darah dan pemeriksaan darah dasar, termasuk tes kehamilan pada
semua penderita wanita berusia subur. Syok pada penderita trauma umumnya
disebabkan hipovolemia. Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 1.5-2
liter cairan kristaloid, sebaiknya Ringer’s Lactat. Bila tidak ada respons
dengan pemberian bolus kristaloid tadi, diberikan darah segolongan (type
specific). Bila tidak ada darah segolongan dapat diberikan darah tipe O Rhesus
negatif, atau tipe darah O Rhesus postif titer rendah. Pemberian vasopresor,
steroid atau bicnat tidak diperkenankan.
Hipotermi dapat terjadi pada penderita yang diberikan
Ringer’s Laktat yang tidak dihangatkan atau darah yang masih dingin terutama
bila penderita juga dalam keadaan kedinginan karena tidak diselimuti. Untuk
menghangatkan cairan dapat digunakan alat pemanas cairan atau oven microwave (oevn
microwave jangan dipakai untuk menghangatkan darah atau cairan yang mengandung
glukosa).
Monitoring EKG
dipakai pada semua penderita trauma. Disritmia termasuk tachycardia yang bukan
karena sebab lain, fibrilasi atrium atau ekstra sistol dan perubahan segmen ST
dapat disebabkan kontusio jantung. Disosiasi elektro-mekanikal (Electro
Mechanical Dissociation, EMD) mungkin disebabkan tamponade jantung, tension
pneumothorax dan/atau hipovolemia berat. Bila harus segeara dicurigai adanya hipoksia dan hipoferpusi.
Hipothermia juga dapat menyebabkan disritmia.
D. Kateter urin dan lambung
Pemakaian kateter urin dan lambung
harus dipertimbangkan. Jangan lupa mengambil sampel urin untuk pemeriksaan urin
rutin.
1. Kateter urin
Produksi urin merupakan indikator peka
untuk menilai keadaan hemodinamik
penderita.
Catatan
: Urin per jam dewasa 30 - 50 cc, anak 1 cc/kg BB/jam
Kateter
urin jangan dipakai bila ada dugaan ruptur uretra yang ditandai oleh :
·
Adanya darah di OUE
·
Hematom di skrotum
·
Pada colok dubur prostat letak tinggi
atau tidak teraba.
Dengan
demikian maka pemasangan kateter urin tidak boleh dilakukan sebelum colok
dubur.
2. Kateter lambung
Kateter lambung dipakai untuk
mengurangi distensi lambung dan mencegah muntah. Isi lambung yang pekat bisa
mengakibatkan NGT tidak berfungsi, dan pemasangannya sendiri bisa menyebabkan
muntah. Darah dalam lambung dapat disebabkan darah yang tertelan, pemasangan
NGT yang traumatik, atau perlukaan lambung.
Bila
lamina cribrosa patah atau diduga patah, kateter lambung ahrus dipasang melalui
mulut untuk mencegah masuknya NGT dalam rongga otak.
E. Monitoring
Monitoring hasil resusitasi
didasarkan pada laju nafas, nadi, tekanan nadi, tekanan darah, ABG (Arterial
Blood Gasses), suhu tubuh, dan keluaran (output) urine (pemeriksaan di atas
harus didapatkan secepatnya).
1.
Laju nafas dan ABG dipakai untuk
menilai airway dan breathing. ETT dapat berubah posisi pada saat penderita
berubah posisi. Monitoring dari End Tidal CO2 merupakan cara baik untuk menilai
posisi ETT.
2.
Pulse oxymetry sangat berguna. Pulse
oxymetry mengukur secara kolorigrafi kadar saturated O2, bahkan PaO2.
Oksigenasi yang baik merupakan tanda airway, breathing, dan circulation yang
baik.
3.
Pada penilaian tekanan darah harus
disadari bahwa tekanan darah ini merupakan indikator yang kurang baik guna
menilai perfusi jaringan.
Monitoring
EKG dianjurkan pada semua penderita trauma
F. Pertimbangan rujukan penderita
Ingat : tindakan resusitasi
dilakukan pada saat masalahnya diketahui, bukan setelah survey primer selesai.
Setelah survey primer dan resusitasi, petugas mempunyai cukup informasi untuk mempertimbangkan rujukan. Proses rujukan sudah dapat dinilai oleh petugas administrasi, pada saat resusitasi. Pada saat keputusan diambil untuk merujuk, perlu komunikasi antara petugas pengirim dan petugas penerima rujukan.
VI. Foto Ronsen
Pemakaian foto ronsen harus
selektif, dan jangan mengganggu proses resusitasi. Catatan : Bila perlu
resusitasi diteruskan di kamar ronsen.
Pada
penderita dengan trauma tumpul harus dilakukan 3 foto :
1.
Servikal
2.
Thorax (AP)
3.
Pelvis (AP)
Pada saat survey sekunder dapat
dilakukan foto mulut terbuka (open mouth odontoid) dan thorako lumbal AP bila
ada dugaan adanya fraktur vertebra dan tidak mengganggu proses resusitasi. Bila
keadaan gawat darurat telah diatasi, barulah dilakukan pemeriksaan foto lengkap
dari tulang servikal, thorakal atau lumbal. Pada luka tajam dapat dilakukan
foto thoraks atau foto lain yang diperlukan.
VII. Survai Sekunder
Survai sekunder dilakukan hanya
setelah survai primer telah selesai, resusitasi dilakukan dan ABC-nya penderita
dipastikan. Survai sekunder adalah pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to
toe examination), termasuk pemeriksaan tanda vital. Pada penderita yang tidak
sadar atau gawat, kemungkinan untuk luput mendiagnosis cukup besar. Pada survai
sekunder ini dilakukan pemeriksaan neuorologis lengkap, termasuk mencatat skor GCS bila belum dilakukan dalam
survai primer. Pada survai sekunder ini juga dikerjakan foto ronsen yang
diperlukan.
Prosedur khusus seperti lavase
peritoneal, evaluasi radiologis dan pemeriksaan laboraorium dikerjakan juga
pada kesempatan ini. Survai sekunder ini juga telah disebut sebagai “tubes in
every orifice”.
A.
Anamnesis
Setiap pemeriksaan yang lengkap
memerlukan anamnesis mengenai riwayat perlukaan. Seringkali data seperti ini
tidak bisa didapat dari penderita sendiri, dan harus didapat dari petugas
lapangan atau keluarga. Riwayat AMPLE patut diingat :
A :
Alergi
M :
Medikasi (sebelumnya)
P :
Past illness (riwayat penyakit)
L :
Last meal
E :
Event/environment (lingkungan) yang berhubungan dengan kejadian
perlukaan.
Mekanisme perlukaan sangat
menentukan keadaan penderita. Petugas lapangan seharusnya melaporkan mekanisme
perlukaan. Jenis perlukaan dapat diramalkan dari mekanisme kejadian perlukaan
itu (tabel 1). Pola perlukaan pada tabel 1 juga dipengaruhi usia dan gerak saat
tabrakan.
1.
Trauma tumpul
Trauma tumpul dapat disebabkan
kecelakaan lalu lintas (KLL), terjatuh dan kecelakaan transportasi, rekreasi
atau pekerjaan. Keterangan penting yang dibutuhkan pada KLL mobil adalah
pemakaian sabuk pengaman, deformasi kemudi, arah tabrakan, kerusakan kendaraan
dalam bentuk kerusakan mayor pada bentuk
luar, atau indentasi ke dalam kompartemen, atau terlempar keluarnya penumpang.
Terlempar keluarnya penumpang kendaraan menambah dengan sangat kemungkinan
perlukaan yang parah.
Tabel
1. Mekanisme perlukaan dan pola perlukaan
------------------------------------------------------------------------------------------
Mekanisme
perlukaan Kemungkinan pola perlukaan
------------------------------------------------------------------------------------------
Benturan frontal
Fraktur servikal
Kemudi bengkok falil
chest anterio
Jejas lutut pada dashboard kontusio
miokard
“Bull’s eye” pada kaca depan pneumothorax
transeksi aorta (deselerasi)
ruptur
lien/hepar
fraktur/dislokasi coxae
atau dan lutut
------------------------------------------------------------------------------------------
Benturan
samping
sprain servikal kontra lateral
fraktur servikal
flail chest lateral
pneumothorax
ruptur aorta
ruptur dipragma
ruptur hepar/lien
fraktur
pelvis/asetabulum
------------------------------------------------------------------------------------------
Benturan
belakang
fraktur servikal
------------------------------------------------------------------------------------------Terlempar
ke
luar
semua jenis perlukaan
mortalitas jelas meningkat
------------------------------------------------------------------------------------------
pejalan
kaki >< mobil trauma
kapitis
perlukaan thoraks/abdomen
fraktur
tungkai
------------------------------------------------------------------------------------------
2.
Trauma tajam
Trauma tajam akibat pisau, senjata
api atau tertancap meningkat dengan cepat. Faktor yang menentukan jenis dan
berat perlukaan ditentukan daerah tubuh yang terluka, organ yang terkena dan
velositas (kecepatan). Dengan demikian maka velositas, kaliber, arah dan jarak
dari senjata merupakan informasi yang penting untuk diketahui.
3.
Perlukaan karena suhu panas atau dingin
Luka bakar dapat berdiri sendiri atau
dalam kombinasi dengan trauma tumpul ataupun tajam akibat mobil terbakar,
ledakan, benda yang jatuh, usaha penyelamatan diri ataupun serangan pisau atau
senjata api. Inhalasi atau keracunan karbon monoksida dapat menyertai luka bakar. Dengan demikian maka diketahui hal-hal
sekitar penyebab kejadian. Secara khusus perlu ditanyakan tempat terjadinya
perlukaan (ruang tertutup atau terbakar) atau bahan yang ikut terbakar (bahan
kimia, plastik dsb.) dan perlukaan lain yang menyertai. Hipotermia akut atau
kronis dapat menybabkan trauma umum ataupun lokal. Kehilangan panas dalam
jumlah besar tidak terjadi pada suhu yang tidak terlalu dingin (15 - 20 derjat Celcius) bila penderita memakai
pakaian yang basah, atau minum alkohol,
sehingga tubuh tidak dapat menyimpan panas.
4.
Lingkungan berbahaya
Kontak dengan bahan kimia, toksin atau radiasi perlu
diketahui karena 2 sebab. Yang pertama karena bahan - bahan ini dapat
menyebabkan berbagai kelainan pada jantung, paru atau organ tubuh yang lain.
Kedua bahan-bahan ini dapat berbahaya untuk petugas kesehatan yang merawat
penderita. Seringkali petugas hanya mengetahui prinsip - prinsip dasar
penangan, dan perlu menghubungi Regional Poison Control Center.
B.
Pemeriksaan Fisik
1.
Kepala
Survai sekunder dimulai dengan
evaluasi kepala. Seluruh kulit kepala
dan kepalan harus diperiksa akan adanya luka, kontusio atau fraktur. Karena
kemungkinan edema akan terjadi beberapa saat kemudian, mata harus diperiksa
akan adanya :
a.
Acies visus
b.
Ukuran pupil
c.
Perdarahan konjungtiva dan fundus
d.
Luka tembus pada mata
e.
Lensa kontak (ambil sebelum terjadi edema)
f. Dislocatio lentis
Acies
visus dapat diperiksa dengan membaca
gambar Snellen, atau membaca huruf pada botol infus atau bungkus perban.
2.
Maksilo fasial
Trauma maksilo fasial tanpa gangguan
jalan nafas atau tanpa perdarahan hebat, baru dikerjakan setelah penderita
stabil sepenuhnya. Pengelolaan defenitif dapat ditunda dengan aman. Penderita
dengan luka pada wajah bagian tengah mungkin ada fraktur juga pada lamina
cribrosa. Dalam hal ini, pemakaian kateter lambung harus melalui jalan oral.
3.
Vertebra servikalis dan leher
Penderita dengan trauma kapitis atau
maksilo fasial dianggap ada fraktur servikal atau ada kerusakan ligamentous
servikal; pada servikal kemudian dilakukan immobilisasi sampai vertebra
servikal telah diteliti. Tidak adanya kelainan neurologis tidak menyingkirkan
adanya fraktur servikal, dan tidak adanya fraktur servikal hanya ditegakkan
dengan pemeriksaan ronsen servikal selesai. Pemeriksaan leher meliputi
inspeksi, palpasi dan auskultasi. Nyeri daerah vertebra servikalis, emfisema
subkutan, deviasi trachea, dan fraktur larynx dapat ditemukan pada pemeriksaan
yang teliti. Dilakukan palpasi dan auskultasi pada arteri carotis. Adanya jejas
pada a. carotis harus dicatat karena kemungkinan adanya perlukaan pada arteri
carotis. Penyumbatan atau diseksi a. carotis dapat terjadi secara lambat, tanpa
gejala dini. Bila penderita memakai helm, dan ada kemungkinan fraktur servikal,
harus hati-hati sekali saat melepas helm tersebut.
Luka
pada leher yang menembus platisma, jangan dilakukan eksplorasi di bagian emergensi,
ini memerlukan tindakan di kamar operasi.
4.
Thoraks
Inspeksi akan menunjukan adanya
flail chest atau open pneumo thorax. Palpasi harus dilakukan pada setiap iga
dan klavikula. Penekanan pada sternum dapat mengakibatkan nyeri bila ada fraktur sternum atau ada
costochondral separation. Kontusio dan hematoma pada pada dinding dada mungkin
disertai kelainan dalan rongga thoraks. Kelainan berat thoraks akan disertai
nyeri dan atau dipsnoe. Evaluasi bagian dalam toraks dapat dilakukan dengan
auskultasi disusul foto toraks. Bising nafas diperiksa pada bagian atas toraks
untuk menentukan pneumothrax dan bagian posterior untuk menentukan hemothorax.
Auskultasi mungkin sulit bila lingkungan berisik, tetapi sangat bermanfaat.
Bunyi jantung yang lemah disertai nadi
yang kecil mungkin disebabkan temponade jantung. Adanya temponade jantung atu
tension pneumothorax dapat terlihat dari adanya distensi pada vena jugularis,
walaupun adanya ahipovolemia akan meniadakan tanda ini. Melemahnya bising nafas
disertai syok mungkin satu - satunya tanda akan adanya tension pneumothorax,
yang menandakan perlunya dekompresi segera.
Catatan
: Dekompresi dengan jantung besar disusul WSD.
Foto
toraks dapat menunjukan adanya hemato
atau pneumothorax. Mungkin ada fraktur iga yang tidak terlihat pada foto
toraks. Mediastinum yang melebar atau penyimpangan NGT ke arah kanan dapat
merupakan tanda ruptur aorta.
5.
Abdomen
Trauma abdomen harus ditangani
dengan agresif. Diagnosis tepat tidak perlu dibutuhkan, yang penting adalah
adanya indikasi untuk operasi segera. Penemuan normal pada pemeriksaan abdomen
pada saat baru datang, tidak menyingkirkan diagnosis perlukaan abdomen, karena
gejala mungkin timbul agak lambat. Diperlukan pemeriksaan ulang dan observasi
ketat, kalau bisa oleh petugas yang sama. Diperlukan konsultasi dengan ahli bedah.
Penderita dengan hipotensi sebab
tidak jelas, kelainan neourologis, gangguan kesadaran karena alkohol dan/atau
obat dan penemuan pemeriksaan abdomen yang meragukan, harus dipertimbangkan
diagnostik peritoneal lavage (DPL). Fraktur iga - iga bawah atau pelvis dapat
menyulitkan pemeriksaan, karena nyeri dari daerah ini akan mempersulit palpasi
abdomen.
6.
Perineum / rectum / vagina.
Perineum diperiksa akan adanya
kontusio, hematoma, laserasi, dan perdarahan uretra. Colok dubur penting
dilakukan pada survai sekunder. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah
dalam lumen rektum, prostat letak tinggi, fraktur pelvis, utuh tidaknya dinding
rektum dan tonus m. sfinkter ani. Pada wanita pemeriksaan colok vagina dapat
menentukan adanya darah atau laserasi dalam vagina. Juga harus dilakukan tes
kehamilan pada semua wanita usia subur.
7.
Muskuloskeletal
Ekstermitas diperiksa untuk adanya
luka atau deformitas. Fraktur yang kurang jelas dapat ditegakkan dengan
memeriksa adanya nyeri, krepitasi atau gerakkan abnormal. Pada fraktur pelvis
dilakukan tes kompresi pada kedua SIAS dan simfisis osis pubis. Penilaian
pulsasi dapat menentukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan berat pada
ekstermitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur. Kerusakan ligamen dapat
menyebabkan sendi tidak stabil. Kerusakan otot tendo akan mengganggu
pergerakkan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat
disebabkan kerusakan saraf perifer atau iskemia (termasuk karena sindrom
kompartemen). Adanya fraktur torako lumbal dapat diduga dari pemeriksaan fisik
dan riwayat trauma. Perlukaan pada bagian lain mungkin menghilangkan gejala
fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat didiagnosis dengan
pemeriksaan ronsen.
8.
Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang teliti
meliputi pemeriksaan kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik
dan sensorik. Pemakaian GCS baik untuk pemantauan. Adanya paralisis atau
paresis mungkin disebabkan kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer.
Imobilisai penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal dan
alat imobilisasi lai dilakukan sampai terbukti tidak ada fraktur servikal.
Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasi kepala dan leher
saja, sehingga penderita masih bisa bergerak dengan leher sebagai sumbu.
Jelaslah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi.
Bila
ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau
tingkat kesadaran penderita, karena
merupakan gambaran perlukaan intra kranial. Bila terjadi penurunan kesadaran
akibat gangguan neurologis harus
diteliti ulang perfusi, oksigenasi dan ventilasi (ABC). Ahli bedah saraf akan menentukan tindakan bagi perdarahan epidural,
subdural atau fraktur kompresif.
VIII. Re - Evaluasi
Harus
dilakukan evaluasi ulang secara kontinyu, sehingga gejala yang baru timbul
dapat dikenal, dan penurunan keadaan dapat ditangani secepatnya. Bila pada saat
awal masalah yang mengancam nyawa di tangani, maka masalah gawat lainnya dapat
timbul kemudian. Penyakit penyerta dapat menjadi manifest. Kewaspadaan yang
tinggi akan memungkinkan diagnosis dini dan terapi segera. Penanganan rasa nyeri
penting, namun harus diingat bahwa obat golongan opiat dapat menyebabkan
depresi pernafasan, menghilangkan gejala neurologis dan menyebabkan kesulitan
pemeriksaan kemudian. Dengan demikian, maka opiat dan obat analgesik lain baru
dipakai setelah konsultasi bedah selesai.
Monitoring tanda vital dan keluaran
urin penting. Produksi urin pada orang dewasa adalah sebaiknya 50 cc/jam, pada
anak 1 cc/kg BB/jam. Bila penderita dalam keadaan kritis dapat dipakai pulse
oximetri dan End-tidal CO2 monitoring.
IX. Terapi definitif
Pada saat ini harus dipertimbangkan
kembali untuk rujukan penderita.
No comments:
Post a Comment